Mengkomunikasikan Desain Komunikasi Visual – Introspeksi Seorang Pengajar: Bagian 1

Oleh: Surianto Rustan
Dipublikasikan pertama kali oleh: dgi-indonesia.com, tanggal 2 Februari 2009.

Bagian 1: JARAK

Suatu kali seorang teman pernah mengatakan kepada saya bahwa tidak semua orang bisa mengajar. Ketika itu saya menanyakan kepadanya apakah ia tertarik untuk menjadi dosen. Dia bilang bukan masalah ilmu yang kurang dikuasainya, namun untuk mengajar perlu kemampuan komunikasi tertentu. Dia bilang dia bisa saja mengajarkan ilmunya kepada orang lain, tetapi bagaimana menjadikan orang itu paham akan apa yang dimaksudkannya itu sangat sulit. Di sini saya berkesimpulan: berarti ada dua kemampuan yang harus dimiliki untuk menjadi seorang pengajar, yaitu penguasaan yang mendalam terhadap ilmunya dan kemampuan menjadikan orang paham terhadap ilmu itu.

Betul cuma perlu dua? Untuk memberi pengajaran tentang Desain Komunikasi Visual?

Pengalaman mengajar saya memang belum terhitung lama, walaupun begitu banyak sekali saya temukan kemampuan ekstra yang diperlukan dalam mengajar. Contohnya sekali waktu pada saat mengajar, saya pernah lupa ‘jarak’ saya dengan para mahasiswa yang saya ajar. ‘Jarak’ yang saya maksudkan adalah: jarak usia, kuantitas pengalaman, perbedaan trend, budaya, bahasa, pola pikir, dan lain-lain. Jadi bila saya mengajar mahasiswa angkatan 2006 misalnya, maka berarti ada jarak usia lebih dari 15 tahun antara saya dengan mereka, dan ada begitu jauh perbedaan pengalaman, trend, budaya, bahasa, pola pikir dengan mereka.

Melupakan ‘jarak’ fisik dan mental ini sangat krusial mengingat posisi saya sebagai pengajar yang senantiasa mengkomunikasikan DKV – sebuah pengetahuan yang jauh dari sederhana kepada mahasiswa. Contohnya bila saya bilang: “dulu majalah BOBO sangat terkenal”. Atau saya suruh: “kamu buat GSM ya, cari sendiri sample-nya di internet”, tanpa memberi tahu apa itu GSM sebelumnya atau me-review sesudahnya. Saya lupa bahwa saya betul-betul mengalami majalah BOBO dan mereka betul-betul tidak mengerti apa itu majalah BOBO, saya lupa bahwa saya mengerti betul apa itu GSM – fungsinya dan bagaimana cara membuatnya sampai sedetil-detilnya, sedangkan mereka betul-betul nol besar.

Pengajar desain yang mengajar di semester-semester awal pastinya akrab dengan hal-hal seperti: kelas yang pasif, tidak ada pertanyaan, ada pertanyaan tapi pertanyaannya polos sekali (maaf, bodoh maksudnya). Seringkali saya terlalu mengharapkan inisiatif datang pertama kali dari mahasiswa, bukan dari saya duluan, dalihnya: “mereka kan bukan anak SMA lagi yang mau bergerak kalau disuruh dulu”. Kalau saya ingat dan paham dengan ‘jarak’ saya dengan mereka, saya akan maklum bahwa tahun lalu mereka masih pakai seragam putih abu-abu. Masih sangat muda.

Kalau saya ingat dan paham dengan ‘jarak’, saya juga akan ingat kondisi pendidikan mereka di tingkat menengah atas pada umumnya. Ada berapa banyak pelajaran mengekspresikan diri dibandingkan dengan pelajaran ilmu murni yang pasif? Berapa banyak pelajaran membangun inisiatif dan mengkritisi suatu masalah? Nah persoalannya jadi merembet ke area pendidikan menengah atas, nanti kalau diteruskan lagi akan merembet ke pendidikan menengah pertama dan dasar. (Hal ini juga sangat perlu mendapat perhatian dari kita semua).

Pemahaman akan jarak ini membuat saya mencari strategi lain yang lebih pas dalam mengajar, membungkusnya dengan gaya bahasa, pendekatan berpikir, trend dan budaya yang disesuaikan dengan yang diajar. Nah yang berbahaya bila saya tidak lupa tapi memang senang pamer ‘jarak’, menciptakan dinding mental yang tinggi hingga komunikasi menjadi satu arah. Mahasiswa menjadi takut dan kehilangan niat untuk bertanya apalagi mendebat. Tidak dipungkiri, bisikan untuk menjadi seorang dosen killer pernah mampir di benak saya ketika berhadapan dengan mahasiswa yang bermasalah.

Lha?! Memang apa tujuan awal saya mengajar? Membagi pengetahuan dengan cara saya? Atau membagi pengetahuan sampai mereka benar-benar paham? Keduanya sangat jelas berbeda. Yang pertama bersifat subjektif – berfokus pada diri sang pengajar sendiri, yang kedua bersifat objektif – berfokus pada yang diajar. Sepatutnya saya menanyakan lagi hal ini kedalam diri saya sendiri. Hal ini tidak mudah karena berarti saya harus keluar dari comfort zone 1) (zona nyaman) saya sebagai pengajar. Dari istilah psikologi, comfort zone berarti kondisi mental yang menyebabkan seseorang menciptakan sebuah mental boundaries, semacam jarak/ batas mental dengan sekitarnya. Jarak mental ini membuat rasa nyaman.

Seseorang pendidik senior pernah mengatakan kepada saya, bahwa pada akhirnya kita tidak hanya mengkomunikasikan ilmu, tapi juga behavior. Mengajari grid jauh lebih mudah dibandingkan mengajari tentang inisiatif. Yang ingin saya katakan disini adalah butuh waktu yang tidak sebentar dan kesabaran penuh untuk pengajaran membangun behavior ini, namun jauh lebih penting adalah mau atau tidak saya memahami jarak saya dan keluar dari zona nyaman saya.

Tahun 2009 saya mengajar para mahasiswa cupu, tidak mustahil tahun 2019 dari para mahasiswa cupu itu lahir seorang Sagmeister Indonesia.

1) Bardwick, Judith. Danger in the Comfort Zone. New York: American Management Association, 1995. ISBN 0-8144-7886-7.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *