Oleh: Surianto Rustan
Dipublikasikan pertama kali oleh: dgi-indonesia.com, tanggal 10 Februari 2009.
Bagian 2: BAHASA
“My body is not delicious”. “Lho, koq you know?”. Kedua kalimat humor yang sering saya dengar ini ternyata saling berbeda. Yang pertama menggunakan kata-kata dalam bahasa Inggris yang diterjemahkan dari bahasa Indonesia “saya sedang tidak enak badan”, sedangkan yang kedua adalah campuran dua bahasa dalam satu kalimat. Namun keduanya juga mempunyai persamaan, yaitu amburadul dari segi tatabahasa, pun demikian membuat saya tertawa dan memaafkannya, karena memang konteksnya untuk melucu, terlebih lagi: kreatif!
Sebaliknya dalam konteks pengajaran, menterjemahkan begitu saja istilah asing ke bahasa negara sendiri adalah suatu hal yang serius. Karena bila saya permisif dalam hal ini akan menciptakan lingkaran setan kesalah-pahaman dari generasi ke generasi.
Apa itu sign? Sign itu tanda.
Mark? Tanda juga, eh, petunjuk, eh kebalik, sign itu yang petunjuk, mark itu tanda.
Symbol? ya simbol.
Bukan tanda? Ya tanda juga.
Myth? Mitos.
Logotype? Elemen tulisan pada logo.
Logogram? Elemen gambar pada logo.
Jadi logo itu terdiri dari logogram dan logotype? YA !
Ini beberapa contoh pertanyaan saya dan jawaban yang diberikan oleh beberapa praktisi dan pengajar desain grafis.
Bahasa itu budaya. Desain grafis bukan berasal dari negeri kita. Metode pendidikan desain grafis Indonesia itu Bauhausian (mengutip dari D. Rio Adiwijaya di acara yang diadakan FDGI belum lama ini). Bauhaus itu di Jerman, Eropa. Jadi maklum saja istilah-istilah yang paling dekat dengan kita adalah dalam bahasa Inggris. Di Indonesia kata mitos mengandung makna: dongeng / isapan jempol / cerita yang dibuat-buat. Jadi kalau saya mengatakan kepada para mahasiswa: ”Marilyn Monroe itu mitos (dari kata ‘myth’). Bisa jadi mereka akan berpikir: “oo.. Marilyn monroe itu sebenarnya tidak ada”.
Lho, kita harus mencintai bahasa Indonesia dong! Berdosalah saya kalau menganggap nasionalisme hanya sebatas bahasa dan di sisi lain membentuk generasi yang salah kaprah. Kecuali kita kompak membakukan semua peristilahan itu dalam semacam konferensi nasional tentang peristilahan bahasa Indonesia dalam bidang desain grafis (hmm.. kelihatannya ada kaitannya dengan wacana simposium pendidikan DKV ?). Saya yakin kita semua paham betul bahwa pengajaran tidak hanya sekedar teori dan menghafalkan istilah seperti SIGN = TANDA. Bahwa lebih bijaksana bila saya melatih kemampuan analisa, riset, dan praktek, agar mereka melihat ‘the big picture’ dari problem-problem yang mereka hadapi, untuk saat ini termasuk menggunakan istilah-istilah dalam bahasa asalnya dan penjelasan menggunakan contoh-contoh kongkrit.
Berbeda dengan logogram dan logotype? Yang ini bukan masalah terjemahan bahasa, tetapi ‘pernah dengar orang lain bilang’. Bila mahasiswa saya tugaskan untuk meriset dan menganalisa, bagaimana dengan saya sendiri sebagai pengajarnya? Apakah saya melakukan hal yang sama untuk materi yang akan saya ajarkan kepada mereka? Bagaimana kalau salah mengajari? Ada istilah yang diajarkan oleh dosen saya saat kuliah dulu, kini saya ajarkan kepada para mahasiswa, lalu mahasiswa saya kemudian menjadi pengajar, lalu terus berlanjut. Kalau dosen saya dulu salah, atau ternyata istilah tersebut sudah tidak relevan di jaman sekarang, sedangkan generasi dibawahnya tidak ada yang mengevaluasi, ini yang dimaksud dengan lingkaran setan kesalah-pahaman itu.
Ingatkah apa tujuan saya mengajar? Mengajar dengan cara saya atau mengajar supaya yang diajar benar-benar paham? Rasa-rasanya saya sendiri masih harus belajar banyak. Menggali ulang istilah-istilah yang masih rancu atau kurang saya pahami, mencari referensi lebih dari satu sumber yang terpercaya, membandingkannya satu sama lain sehingga mendapatkan esensi maknanya, mencari contoh-contoh praktisnya, dan mencari strategi bagaimana menyampaikannya dengan cara yang paling mudah dipahami oleh orang awam sekalipun.
Mengajar adalah investasi. Apakah hasilnya positif atau negatif, buah-buahnya akan nampak dikemudian hari. Masa depan desain grafis kita tidak hanya ada dibahu saya, namun terlebih ada dibahu orang yang saya ajar – para Sagmeister Indonesia yang tidak salah kaprah.
Guru adalah salah satu sumber ilmu, maka sebagai guru perlu berhati-hati dalam konteks penggunaan atau pilihan kata yang digunakan dalam mengajar. Hal ini dikarenakan guru sebagai contoh bagi muridnya. Seperti peribahasa yang mengatakan “Guru kencing berdiri, Murid kencing berlari” yang berarti murid mengikuti perbuatan yang tidak baik yang dilakukan oleh gurunya. Sama halnya dengan pembelajaran yang diberikan guru, jika terjadi salah kaprah dalam pemahaman pada murid, maka itulah ilmu yang akan dipegangnya selama hidupnya.