Penulis: Surianto Rustan
Catatan: mohon kebijakan pembaca, penulis tidak mengusulkan untuk mengubah/menghapus istilah/kata/nama apapun.
Pernah nonton film Arrival? Tentang seorang ahli bahasa yang ditugaskan untuk berkomunikasi dengan alien yang datang ke bumi. Dalam proses menerjemahkan bahasa alien, lama-lama peneliti itu bisa melihat ke masa depan, menyamai kemampuan alien tersebut.
Ini berkaitan dengan hipotesa yang dikenal dengan “Sapir-Whorf Hypothesis”, bahwa: “bahasa menentukan pola pikir kita”. Jadi karena belajar bahasa alien, maka ahli bahasa itu jadi punya kemampuan alien juga.
Jadi, apakah bahasa yang menciptakan pemikiran? Atau pikiran kita yang menciptakan bahasa?
Apabila contoh film Arrival dan Sapir-Whorf Hypothesis dianggap terlalu lebay, bagaimana dengan istilah “Phubbing”? Pernah dengar?
“Phubbing” adalah kata baru yang diciptakan pada bulan Mei 2012 oleh sejumlah ahli bahasa, penyusun kamus, penulis, sastrawan, mahasiswa, pelajar, dll. Diprakarsai oleh agensi McCann.
Phubbing singkatan dari Phone Snubbing, yang berarti: menolak, menampik, tak menghiraukan lawan bicara (tatap muka) karena asik main hape.
Sebelum ada kata/istilah “Phubbing” kita tidak terlalu menyadari hal negatif tersebut, tapi begitu ada istilahnya, barulah orang “ngeh” dan lebih peduli.
Sekarang mengenai istilah Desain Komunikasi Visual (DKV). Awalnya disebut “Visual Communication” yang digunakan di kalangan akademisi Eropa & Amerika untuk menggantikan istilah “Desain Grafis” yang dianggap tak mampu lagi mengakomodir media & area desain yang baru: 3D, animasi, web, dll.
Lalu istilah “Komunikasi Visual” diperkenalkan oleh Gert Dumbar desainer Belanda, saat berkunjung ke Indonesia tahun 1977. Akhirnya setelah melewati dua Revolusi Industri, kita masih juga memakai istilah “Desain Komunikasi Visual” sampai sekarang.
Sementara para ahli mengatakan bahwa istilah “Desain” maknanya makin longgar, cair, blur, dan tidak jelas. Bisa bersifat teknis, bersifat sistem, pengelolaan, pemikiran, penelitian, dll. Bisa berbaur dengan bisnis, sosial, edukasi, teknologi, kesehatan, dll.
Johann Georg Hamann pernah bilang: “The lineaments of their language will thus correspond to the direction of their mentality.” Artinya kurang lebih: ciri khas bahasa seseorang itu berkaitan dengan arah mentalitasnya.
Rutinitas dan fokus yang berlebihan pada “Visual” dari “Desain Komunikasi Visual”, “Pekerja Visual”, “Desainer Visual”, jangan-jangan malah memenjarakan mental desainer, bahwa dia berada di tatanan visual yang resmi, paten, official, maka tenang-tenang sajalah di sana. Lupa bahwa “Desain” itu sendiri makin meluas, dan “Desainer” bisa jadi apa saja.
Tuntutan industri di era digital ini mengarah pada pribadi yang Open (terbuka), Agile (tangkas), Adapt (mahir beradaptasi), Sustain (mampu bertahan). Faktor-faktor itu juga yang membuat desainer survive, bukan cuma bangga & kreatif di bidang visual saja (pandemi Covid-19 menjadi pengujinya).
Kalau predikat “Visual” dirasa memenjarakan mental, segeralah keluar dari mindset itu. Kita bisa jadi apa saja kok, tak peduli latar belakang atau pendidikan. Dan kita masih punya banyak istilah lain yang lebih oke:
– Desainer-Dikejar-Anjing
– Desainer-Keluar-Zona-Nyaman
– Desainer-Survivor
– (isi sendiri) ……….
—–
Referensi:
https:// m.imdb.com/title/tt2543164/
https://en.m.wikipedia.org/wiki/Linguistic_relativity
https://en.m.wikipedia.org/wiki/Phubbing
https://youtu.be/hLNhKUniaEw
Rustan, Surianto (2017). Bisnis Desain. Jakarta, Indonesia
Quoted in Bernard D. Den Ouden, Language and Creativity: An Interdisciplinary Essay in Chomskyan Humanism, p. 25.
—–
Kalau mau share konten ini, baik sebagian maupun seluruhnya boleh saja, asal menyertakan nama penulis & referensi. Terima kasih atas pengertiannya.
Apakah ini yang disebut Ironi diatas Ironi pak
Hehe bisa jadi.
so informative
Thanks
Informasi ini menarik